Aku berdiri tepat di depan gerbang. Beberapa anak berlarian, bergegas
masuk ke dalam dengan terburu-buru. Dari kejauhan dapat kulihat bendera
merah putih berkibar halus karena terpaan angin. Ku genggam erat tali
ranselku, tersenyum yakin menghadapi dunia. Hai! Namaku Iqbaal. Aku
adalah pindahan dari Bandung. Aku adalah siswa rekomendasi dari
sekolahku sebelumnya untuk mendapatkan beasiswa disekolah ini. Dan...
brakkkk...seseorang menabrakku dari belakang.
"Eh, jangan diri disitu dong! mau keinjek-injek hah?"
Aku yang sedang terkesima benar-benar kaget setengah mati hanya menunduk. "Iya"
Aku menghela napas beberapa kali, terengah-engah.
Apa begini ya sikap orang-orang Jakarta? Kurang ramah dan suka
seenaknya sendiri? Ah tapi... tidak baik berburuk sangka kepada orang lain, aku
segera menghapus pikiran burukku.
aku hanya terkesima, terpaku
melihat anak itu yang sampai benar-benar menghilang dari pandanganku.
Dari kejauhan, aku melihat ia menyapa teman-temannya. Salah satu dari
mereka menatap ke arahku, dan tersenyum. Aku membalas senyumnya.
'Kriiiiing'
Anak-anak kembali berhamburan menuju kelas masing-masing. Keadaan
menjadi lebih gaduh karena bel yang berbunyi. Aku yang diam segera
berjalan dan mempercepat langkahku menuju kelas.
Kelasku dimana ya? Aku yang tidak tahu sama sekali dimana kelasku hanya bisa celingukan...tiba-tiba seseorang menepuk pundakku.
"Anak baru ya?" seorang anak laki-laki yang lebih tinggi dariku, dengan
nada suara rendahnya yang ramah, dan sorot matanya yang bersahabat
bertanya kepadaku.
"Iya, saya pindahan dari Bandung" jawabku sambil tersenyum.
"Oh, berarti kamu anak yang dapet beasiswa itu ya? Kebetulan, tadi
habis dari kantor guru, dan katanya akan ada murid baru. Ternyata kamu.
Ayo ikut" ucapnya dewasa.
"Namaku Iqbaal" ucapku sambil mengajaknya bersalaman.
"Kiki. Aku ketua kelas 8A." ia membalas jabatan tanganku. "Ayo ke kelas"
Aku mengangguk dan mengikutinya dari belakang.
-------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
*di kelas*
Ruang kelas itu bercat biru muda, dihiasi ornamen-ornamen yang indah,
berAC, dan setiap siswa duduk perorang, keadaan ini jauh terbalik dengan
sekolahku sebelumnya.
Aku amati satu persatu teman-teman
sekelasku, sampai pandanganku berhenti pada seseorang, yang setengah jam
yang lalu membuatku kaget setengah mati.
Lah, itu kan anak yang tadi nabrak aku...jadi...aku ini teman sekelasnya dia?? Ya Tuhan. Aku mendadak terdiam.
Ia tampak asyik bercanda dengan teman-temannya yang tadi. Suaranya
sangat dominan di kelas ini. Terdengar bahkan sampai di muka kelas.
"Nah Iqbaal, semoga betah ya di kelas ini. Emang berisik sih, tapi
anak-anaknya pinter semua kok. Kalo ada yang mau ditanya-tanya bisa
tanya ke aku kok" ujar Kiki.
"Iya, makasih ya Ki. Pasti betah kok" aku tersenyum.
Kiki mengetuk meja beberapa kali dengan penghapus papan tulis, meminta perhatian sejenak.
"Teman-teman, kita kedatangan teman baru, namanya Iqbaal. Iqbaal, silahkan memperkenalkan diri"
"Nama saya Iqbaal Dhiafakhri. Biasa dipanggil Iqbaal..."
anak itu menatapku dan berbisik-bisik pada teman sebangkunya.
"saya adalah siswa rekomendasi dari Bandung. Saya harap teman-teman
semua bisa menerima saya di kelas ini. Terima kasih" aku meneruskan
kalimatku.
Kiki menunjukkan bangku yang kosong di kelas itu, ia juga
memberi tahu nama-nama setiap anak di kelas ini, dan guru-guru yang
mengajar.
"Kalau yang itu namanya Bastian, sebelahnya Alvaro, tapi aku lebih suka manggil dia Aldi" Kiki menunjukkan anak-yang-menabrak-aku tadi pagi.
Aku mengangguk. Mmmm...
Pembicaraan kami terhenti saat guru masuk dan memulai pelajaran.
"Kamu anak baru itu ya? Sudah perkenalan?" tanya guru itu.
"Sudah bu"
"Baik kalau begitu, saya ibu Fitri, wali kelas 8A dan juga mengajar
bahasa Indonesia. Selamat datang, semoga kamu bisa beradaptasi dengan
baik di kelas ini" ujar bu Fitri seraya tersenyum.
"Terima kasih Bu" jawabku.
Pelajaran dimulai.
-----------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Pelajaran Bahasa Indonesia dimulai, semua anak ditugaskan untuk membuat
puisi sesuai dengan materi yang dipelajari. Iqbaal tampak bersemangat,
karena ia memang sangat suka menulis. Dari kejauhan, dua anak itu
memperhatikannya.
"Itu anak yang lo tabrak kan?" tanya Alvaro kepada Bastian.
"Iya, tadi pagi. Biarin ajalah" jawab Bastian.
"Lain kali hati-hati makanya" Alvaro menghela nafas.
"Iya" jawab Bastian cuek.
Alvaro dan Bastian sudah bersahabat sejak lama, sejak dibangku SD.
Alvaro, atau yang terkadang dipanggil Aldi, adalah anak yang pintar, ia sangat dingin dan enggan untuk dekat dengan siapapun.
Bastian, justru sangat berbanding terbalik. Ia adalah anak yang
periang, berani menantang dunia dan mudah dekat dengan siapa saja. Namun
terkadang ia egois dan ingin menang sendiri.
Alvaro mengamati
Iqbaal dari kejauhan. Ia merasa ada sesuatu yang menarik dari dirinya.
Sorot matanya selalu berarti, ingin tahu dan terlihat cerdas. Ia juga
ramah. Beberapa anak perempuan di kelas ini juga beberapa kali melirik
ke arahnya. Entahlah, mungkin memang dia menarik.
Tapi dari situlah semuanya berawal. Semua cerita.
------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
"Puisi kamu bagus sekali" puji Bu Fitri.
"Terima kasih Bu, tapi saya rasa, saya perlu banyak belajar" ucapku sambil malu-malu.
"Ibu ambil ya? Buat dipasang di mading" ia membaca sepintas lagi puisi buatanku.
"hah? tapi bu...itu nggak bagus" sergahku. Aku menunduk,
"yaudah, silahkan bu, nggak apa-apa. Saya tapi jadi sedikit malu, karena jelek puisinya"
"Percaya diri. Kamu punya bakat yang belum tentu orang lain punya"
Kali ini Bu Fitri mengalahkan argumenku. Ia benar.
"Terima kasih Bu"
Bu Fitri tersenyum dan mengacak-ngacak rambutku.
Jam Istirahat.
Sekolah ini cukup besar untukku, dan mempunyai fasilitas yang lengkap.
Kuamati setiap sudut dari bagian sekolah ini, setiap lorong-lorong yang
aku lewati. Beberapa anak-anak sedang sibuk dengan aktivitasnya
masing-masing. Aku meneruskan berjalan sampai berhenti untuk
menyempatkan membaca mading. Kreatif, warna-warni, dan menarik. Ada
beberapa puisi disana. Saat aku asyik membaca, tiba-tiba seorang anak
perempuan membawa tumpukkan karton yang berisi guntingan
majalah-majalah. Sesekali terjatuh, apalagi ia sangat kerepotan untuk
membuka kunci mading.
"Perlu bantuan?" tawarku.
Ia terdiam dan melihatku sejenak.
"Boleh...makasih ya" ia menyerahkan karton itu ke tanganku dan membuka kunci mading.
"Makasih" ujarnya. Aku balas dengan senyum.
"Ini mau dipasang ya?" tanyaku.
"Iya, udah harus diganti. Udah 2 minggu" jawabnya sambil mencabut semua mading yang lama, kemudian mulai menempel-nempel.
aku yang melihat ia sedikit repot, ku bantu tanpa menawarkan diri.
Kusambar paku payung itu dan mulai menempel. Sesekali ia melirik ke
arahku, dan tak jarang aku membalas tatapannya dengan senyum.
"Ini ditempel disini?" tanyaku sambil menunjuk kolom 'informasi'.
"Iya" jawabnya. "Rasa-rasanya aku belum pernah liat kamu deh" ucapnya sambil mengamati.
Aku hanya tersenyum. Ia mengatur kertas-kertas sesuai dengan kolom yang tersedia. Sampai dibagian puisi, ia membaca salah satu kertas.
"Perasaan nggak pernah ada deh nama anak di kelas 8A, apalagi kelas itu
jarang banget nulis buat mading" satu alis matanya naik karena heran.
"Siapa? Aku kelas 8A, mungkin aku tahu"
"Namanya...Iqbaal Dhiafakhri. Kenal?"
"Hahaha, itu sih aku" jawabku setengah tertawa karena sejak tadi akulah orang yang benar-benar membuatnya heran.
"Oh kamu, pasti kamu murid baru?"
"Iya, rekomendasi dari Bandung" kataku sambil menempel kertas-kertas mading.
Ia masih menatapku, kemudian membaca kertas puisiku.
"Kamu suka nulis puisi juga ya? Tadi Bu Fitri minta aku buat pasang ini di mading"
Ia menempelkan kertas puisiku.
"Terkadang, lewat puisi kita bisa menyampaikan pikiran dan perasaan
kita. Menumpahkan semuanya lewat goresan tinta, dengan untaian kata yang
indah" jelasku.
"Gimana kalo kamu gabung sama Mading sekolah ini? Kita lagi kurang orang" ujarnya sambil tersenyum cerah.
"Boleh. Kebetulan aku juga mau nambah kegiatan nih"
"Okay. Makasih ya udah mau bantu aku tadi. Jadi cepat selesai deh"
ucapnya seraya mengunci mading, sebelum beranjak dari tempat itu.
"Sama-sama, memang seharusnya kan kita bantu orang yang sedang membutuhkan?"
Ia mengangguk, membenarkan. "Sampai ketemu" ia berbalik dan berjalan. Namun aku merasa seperti ada yang terlupakan.
"Tunggu!" sergahku. Ia berhenti dan berbalik.
"Ada apa?" tanyanya.
"Nama kamu siapa?" tanyaku sambil mengulurkan jabatan.
Ia tersenyum. Sangat lucu sekali.
"Namira" ucapnya sambil membalas jabatan tanganku.
"Iqbaal" ujarku bersahabat.
Satu lagi teman baru. Biar ku deskripsikan. Aku sedikit lebih tinggi
darinya, rambutnya panjang sebahu dibiarkan terurai, ia ramah, dan
cantik. Ah ya, Ia juga suka puisi.
Karena waktu istirahat hampir habis, aku kembali ke kelas. Lagipula sepertinya aku belum menyentuh kotak makanku sama sekali.
*di kelas*
Aku mengambil roti dari kotak makananku dan berjalan menuju luar kelas.
Suasana diluar memang menyenangkan, saat angin dengan lembut menerpa
wajah, gemerisik semak-semak. Kugigit rotiku, sambil mengamati suasana
tersebut. Tiba-tiba...
Rotinya jatuh. Anak-anak yang berlarian
itu menabrak lenganku. Sehingga rotiku jatuh dengan mudahnya. Anak itu
sempat menoleh, namun ia tidak peduli sama sekali. Bahkan terus berlari.
Aku menghela napas. Ya sudah.
Saat aku hendak mengambil roti itu, tiba-tiba..
"Nih" sebuah tangan menggenggam kotak makanan berisi roti. Mataku segera menyusuri melihat pemilik tangan tersebut.
"Ambil" ia menawarkan. Aku masih terdiam.
"Ayo ambil" ia memperjelas.
Aku ambil satu roti dari kotak makannya.
"Terima kasih, kamu baik banget"
"Sama-sama. Lain kali, hati-hati" ia duduk disampingku dan mengambil
rotinya. "Duduk di sini memang membuat hati tenang ya. Aku suka duduk di
sini." ia menggigit roti itu dengan pandangan lurus ke depan.
Aku tersenyum mengiyakan.
"Namamu Alvaro ya?" tanyaku.
"Iya. Pasti tau dari Kiki?" tebaknya.
"Iya, hahaha. Siapa lagi?"
Ia hanya mengulum senyum dan menghabiskan rotinya.
"Aku ke dalam dulu ya" pamitnya.
"Makasih rotinya" ucapku sekali lagi.
Ia hanya tersenyum.
Di setiap ada kejelekan pasti ada kebaikan. Aku sering merasakan hal
ini di sekolah baru ini. Di setiap aku mengalami kejadian yang tidak
mengenakkan, pasti di selang dengan hal yang menyenangkan. Mungkin
itulah hidup yang sebenarnya.
*kriiiing*
"Iqbaal, nggak masuk kelas?" tanya Kiki.
"Ini baru mau" jawabku dan beranjak untuk segera masuk kelas. Selang beberapa menit, guru mata pelajaran Seni Budaya masuk.
"Anak-anak, hari ini kita akan melukis. Tolong ambil buku gambar dan
cat warna kalian dari loker, dan pilih objek mana yang akan kalian
lukis"
kenapa harus melukis.....kenapa........aku menghela kesal.
Beberapa anak berhamburan keluar, termasuk aku.
Aku memilih duduk di rerumputan sekolah, mencari objek yang pas walaupun sebenarnya aku tidak pandai melukis.
Dari jarak beberapaa meter, kulihat seseorang sedang duduk, beberapa
kali mencampur cat air miliknya dan menggoreskan ke kertas gambarnya.
"Hai, sendirian aja?" ku sapa dirinya.
Ia hanya membalas dengan tatapannya.
"Boleh duduk?" pintaku.
Ia membereskan cat airnya, lalu menggerser duduknya, memberi isyarat mempersilahkan aku duduk.
Aku segera menghempaskan diri sampingnya. Ia masih sibuk menyapu
kuas-kuas di kertasnya. Ku tengok hasil lukisannya, sangat bagus!!
"Lukisanmu bagus" pujiku.
"Makasih" jawabnya singkat.
Ia sangat acuh, namun aku tidak sama sekali merasa diperlakukan tidak nyaman.
"Aku juga mau bisa melukis" ucapku mengiba.
"Melukis itu juga bagian dari menyalurkan keinginan dan perasaan kita,
lewat campuran warna, dan di corat-coret diatas kertas. Sekarang cari
objek yang menurut lo bagus"
Kuturuti apa yang ia perintahkan. Mataku mencari-cari apa sesuatu yang menarik untuk dilukis.
"Kalau pohon yang disana itu gimana?" usulku.
"Boleh, itu kan terserah lo" jawabnya sambil terus menggerakan kuasnya.
dengan ragu-ragu kusapu cat air itu pada kertas, menggambar garis dari pohon tersebut.
"Jangan ragu-ragu, nanti hasilnya beda" ucapnya. Aku mengangguk dan
mulai melukis dengan tidak-ragu-ragu-lagi. Perlahan aku mulai nyaman dan
tenggelam dalam lukisanku, menebalkan kontur-kontur, mewarnai dedaunan.
Tanganku mulai terbiasa menyapu kuas.
"Oh ya, lo anak yang gue tabrak tadi pagi kan? Sorry ya" ucapnya.
"Iya. Nggak apa-apa, mungkin aku emang salah" tanganku berhenti melukis, menoleh kearahnya.
"Bastian" sebutnya sambil mengulurkan tangan.
"Iqbaal" aku membalas jabatan tangannya.
"Gue sih udah tau nama lo"
Aku tersenyum dan kembali menyelesaikan gambar yang sedikit lagi selesai.
Tiba-tiba ia mengoleskan cat berwarna kuning dengan kuasnya dan mencoret bagian atas gambar pohonku.
"Pohon itu nggak warnanya hijau semua kan? Kalau hijau semua nggak sesuai dengan realita"
Sepintas gambarku memang sedikit lebih mirip dari yang tadi.
"Makasih ya, ini bener-bener gambar aku yang paling bagus! Karena kamu
juga. Makasih udah mau bantu" berulang kali aku melihat hasil lukisanku,
batas antara kagum dan heran sangat tipis.
"Iya sama-sama. Gue ke kelas duluan" ucapnya santai dan beranjak dari tempat tersebut.
Aku mengangguk senang, dan kembali meneruskan lukisanku hingga selesai.
Tempat ini benar-benar nyaman untuk berlama-lama. Dari sini terdengar
gemericik air mancur dan suara samar-samar dari arah lapangan.
"Iqbaal"
Aku mencari sumber suara tersebut. Ternyata Kiki.
"Ayo masuk Baal! Pelajaran udah mau selesai" teriaknya.
"Iyaaaa sebentar" ku tenteng hasil lukisanku dan berlari menuju kelas.
-----------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Iqbaal sudah mulai merasa nyaman dengan teman-teman barunya. Ia tidak
merasa sendiri lagi. Tanpa ia sadari, pertemuan di depan mading itu
mempunyai cerita tersendiri bagi Namira. Sesuatu yang sama sekali belum
pernah ia alami.
"Kanya" panggil Namira dari kejauhan.
"Iya?" jawab pemilik nama Kanya tersebut.
"Aku lagi seneng banget nih"
"Oh ya? Kenapa?" Kanya ikut tersenyum karena ekspresi Namira.
"Hmmm...ada pujangga baru di sekolah kita. Dia baik banget, bantuin aku
nempelin mading...." Namira bercerita sambil tersenyum-senyum, matanya
melihat nanar ke atas, seperti sedang mengingat-ingat.
"Anak kelas?" nada Kanya berusaha menebak.
"8A" jawab Namira cepat.
"Sekelas sama Bastian dong?"
"Ya gitu deh" jawab Namira yang masih tersenyum-senyum.
"Hahaha, Cie aja deh buat lo" timpal Kanya setengah tertawa.
---------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Ternyata adaptasi sama lingkungan baru itu sama sekali tidak sulit ya.
Tidak terasa sudah 2 minggu aku bersekolah disini. Aku sudah mempunyai
banyak teman, baik teman-teman sekelas maupun teman ekskul mading.
Mereka dapat menerimaku dengan baik. Bahkan teman-teman sekelas, aku merasa sangat nyaman di sekolah ini.
Bagaimana hari-hari Iqbaal selanjutnya di sekolah barunya?
to be continued........
Tidak ada komentar:
Posting Komentar